Harmoni Rasa Indonesia dan Jerman di 5 Piring Makan Malam

Harmoni Rasa Indonesia dan Jerman di 5 Piring Makan Malam

ialog kuliner yang diprakarsai Goethe-Institut. Acara utama malam itu tentu saja menikmati rangkaian hidangan mulai dari appetizer hingga dessert yang memadukan rasa serta budaya Indonesia dan Jerman dalam satu piring.

Sebagai pembuka, Chef Helge Hagemann yang mewakili Jerman dan Chef Petty Elliott dari Indonesia menyajikan tujuh makanan berbeda yang disajikan di atas talenan kayu.
Mewakili rasa Nusantara, terdapat kerupuk, sambal terong Sumba dan sambal matah kecombrang. Sementara, rasa Jerman hadir melalui roti Jerman dan pretzel, acar sayuran, salted butter, dan chicken liver parfait (olahan ati ayam yang dihaluskan).

Porsi yang dihidangkan bisa untuk tiga orang. Namun malam itu, saya berbagi dengan seorang kenalan baru saya. Pada meja itu juga terdapat seorang perwakilan dari Goethe-Institut Indonesien, Nico Sandfuchs, yang berbagi cerita tentang cita rasa makanan Jerman.

Roti Jerman yang dioles butter menjadi santapan pertama saya malam itu. Meski dibilang asing, rasa butter-nya tak seasin dugaan saya. Teksturnya lembut meleleh di mulut.

Saya lalu mencoba sambal matah kecombrang saja terlebih dulu, sebelum mencicipinya bersama chicken liver parfait. Ternyata, rasa segar dari sambal kecombrang memang bisa mengimbangi makanan khas Jerman yang cenderung asin di lidah saya.

Selanjutnya, pelayan menghadirkan piring berbeda yang disebut 3 Times Fish. Sesuai namanya, ada tiga potong olahan ikan barramundi yang ditata dalam posisi segitiga.

Mewakili rasa Indonesia, ikan barramundi diolah menjadi ikan kuah kuning lengkap dengan irisan wortel. Ada pula olahan ikan yang rasanya mirip perkedel. Sementara, cita rasa khas Jerman diwakili ikan barramundi yang diasinkan ditambah seiris oyong bakar.

Di sela menyantap itu, Nico sempat menjelaskan gambaran cita rasa Jerman secara umum. Menurutnya, rasa itu terbagi dua kelompok ekstrem. Untuk golongan tua, cita rasa kuliner didominasi makanan berlemak dan berat karena mereka butuh menghangatkan badan.
"Sementara, kelompok yang lebih muda lebih ringan. Mereka sangat peduli akan keberlangsungan (sustainability) dan gaya hidup sehat, termasuk memperhatikan hingga soal jejak karbon," katanya.dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Kamis (10/10/2019).

Komentar